Home Fiqih Fiqih ibadah BERZAKAT KEPADA ORANG YANG BERUTANG KEPADA KITA

BERZAKAT KEPADA ORANG YANG BERUTANG KEPADA KITA

149

Oleh :  KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Tanya :

Ustadz mau tanya, ada beberapa orang punya hutang kepada saya, ada yang belum dibayar, dan ada juga yang nggak sanggup mereka bayar. Apa bisa kita kasih zakat mal, untuk dia melunasinya ke saya? Konkretnya begini, Fulan berhutang kepada saya sebesar Rp 8,5 juta. Dan dia sudah berhutang selama 3 tahun. Kalau melihat dari keadaanya, sulit untuk melunasinya, Ustadz. Rencananya, saya akan memberikan zakat mal Rp 9 juta kepada Fulan, yang rencananya Rp 8,5 juta akan Fulan bayarkan untuk melunasi hutang kepada saya. Apa bisa Ustadz? (Firman, Bogor).

Jawab :

Ada rincian (tafshīl) hukum syara’ bagi seseorang, misal si Fulan, yang berzakat kepada orang lain (misal Fulanah) yang berutang kepada si Fulan. Imam Nawawi telah menjelaskan hukumnya dalam kitabnya Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab sebagai berikut :

قاَلَ اْلإِماَمُ النَّوَوِيُّ رَحِمَهُ اللهُ  : أَمَّا إِذَا دَفَعَ الزَّكاةَ إِلَيْهِ بِشَرْطِ أَنْ يَرُدَّها إِلَيْهِ عَنْ دينِهِ ، فَلَا يَصِحُّ الدَّفْعُ وَلَا تَسْقُطُ الزَّكاةُ بِالِاتِّفَاقِ ، وَلَا يَصِحُّ قَضاءُ الدَّيْنِ بِذَلِكَ بِالِاتِّفَاقِ … وَلَوْ نَوَيَا ذَلِكَ وَلَمْ يَشْرِطَاهْ جَازَ بِالِاتِّفَاقِ وَأَجْزَأَهُ عَنْ الزَّكاةِ ، وَإِذَا رَدَّهُ إِلَيْهِ عَنْ الدّينِ بَرِئَ مِنْهُ

Imam Nawawi, rahimahullah, berkata,”Adapun jika (seseorang) membayar zakat kepadanya (orang yang berutang kepada Fulan) dengan syarat ia mengembalikannya kepadanya untuk membayar utangnya, maka pembayaran zakat itu tidak sah dan zakatnya pun tidak gugur kewajibannya, demikian menurut kesepakatan (ulama). Demikian juga tidak sah melunasi hutang dengan cara seperti itu, demikian menurut kesepakatan (ulama)… Kalau mereka berdua berniat melakukan hal yang demikian itu, namun keduanya tidak mensyaratkannya, maka hal itu boleh hukumnya menurut kesepakatan (ulama), dan sah pembayaran zakatnya, dan jika orang yang berutang itu mengembalikannya untuk membayar utangnya, maka dia telah terlepas dari utang.” (Imam Nawawi, Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab, Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah (DKI), Juz VII, hlm. 255).

Dari penjelasan Imam Nawawi tersebut, jelaslah bahwa rincian (tafshīl) hukum syara’ untuk masalah ini adalah sebagai berikut :

Pertama, jika si Fulan mensyaratkan kepada orang yang berutang kepadanya (Fulanah) untuk mengembalikan uang zakat itu sebagai pembayaran utang, hukumnya tidak boleh dan zakatnya tidak sah. Misalnya si Fulan berkata Fulanah,”Saya akan membayar zakat mal kepada kamu sebesar Rp 10 juta, tapi syaratnya kamu harus melunasi utangmu kepada saya sebesar Rp 8 juta dari uang Rp 10 juta itu.” Lalu si Fulanah menjawab Fulan,”Saya setuju.” Jika ada persyaratan yang demikian, hukumnya tidak boleh dan zakatnya tidak sah.

Kedua, jika si Fulan tidak mensyaratkan hal itu kepada si Fulanah, hukumnya boleh dan zakatnya sah. Misalnya si Fulan berkata kepada Fulanah,”Saya akan membayar zakat mal kepada kamu sebesar Rp 10 juta.” (tanpa ada redaksi bahwa Fulan mensyaratkan bahwa uang itu untuk membayar utang Fulanah kepada Fulan). Lalu si Fulanah menjawab,”Saya setuju.” Jika redaksinya seperti ini, yakni tidak ada persyaratan dari Fulan bahwa uang zakat yang diterima oleh Fulanah harus dibayarkan sebagai pelunasan utang kepada Fulan, maka hukumnya boleh dan zakatnya sah.

Demikianlah rincian hukum syara’ untuk masalah yang ditanyakan di atas, yaitu pembayaran zakat kepada seseorang yang berutang, yang kemudian orang itu mengembalikannya untuk melunasi utangnya kepada pemberi zakat.

Untuk menambah faidah, kami tambahkan satu kasus lagi yang mirip dengan masalah sebelumnya di atas, yaitu hukum konversi piutang menjadi zakat. Contoh kasusnya, Fulan memberi utang kepada Fulanah sebesar Rp 10 juta. Dengan kata lain, Fulan mempunyai piutang Rp 10 juta pada Fulanah. Lalu Fulan berkata kepada Fulanah,”Piutang saya sebesar Rp 10 juta yang ada pada kamu, saya jadikan zakat mal yang saya bayarkan kepada kamu.” Lalu si Fulanah berkata,”Saya setuju.” Pembayaran zakat seperti ini, yakni dengan cara meng-konversi piutang menjadi zakat, hukumnya tidak sah, sesuai pendapat yang rājih (lebih kuat) menurut Imam Nawawi. Imam Nawawi menjelaskan dalam kitabnya Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab sebagai berikut :

قاَلَ اْلإِماَمُ النَّوَوِيُّ رَحِمَهُ اللهُ : إِذَا كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى مُعْسِرِ دِينٌ فَأَرَادَ أَنْ يَجْعَلَهُ عَنْ زَكاتِهِ وَقَالَ لَهُ : جَعَلْتُهُ عَنْ زَكاَتِيْ فَوَجْهَانِ حَكَاهُماَ صاَحِبُ البَيانِ أَصَحُّهُمَا : لَا يُجْزِئُهُ ، وَبِهِ قَطَعَ الصَّيمَرِيُّ ، وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ وَأَحْمَدَ ، لِأَنَّ الزَّكاةَ فِي ذِمَّتِهِ فَلَا يَبْرَأُ إِلَّا بإِقْباَضِهاَ . وَالثَّانِي : يُجْزِئُهُ ، وَهُوَ مَذْهَبُ الحَسَنِ البَصْريِّ وَعَطاءٌ.

Imam Nawawi, rahimahullah, berkata,” Jika seseorang mempunyai piutang pada seorang yang berada dalam kesulitan (untuk membayar utangnya), dan orang itu ingin membayar zakatnya, lalu orang itu berkata kepadanya,’Saya jadikan piutang saya untuk membayar zakat saya’, maka di sini ada dua pendapat menurut penulis kitab Al-Bayān, yang lebih benar (shahih) adalah : tidak mencukupi (tidak sah zakatnya). Pendapat inilah yang dipastikan oleh Al-Shaimari, dan inilah pendapat mazhab Abu Hanifah dan mazhab Ahmad. Hal ini karena zakat itu menjadi tanggungan pihak yang berutang, dan utang itu tidaklah terbayar kecuali dengan adanya serah terima (al-qabdh) atas harta zakat (dari orang yang berutang kepada pemberi utang). Pendapat kedua, pembayaran zakat seperti itu (dengan membebaskan utang atas orang yang berutang) mencukupi (sah), dan ini adalah pendapat Al-Hasan Al-Bashri dan ‘Athā`.” (Imam Nawawi, Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab, Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah (DKI), Juz VII, hlm. 255).

Dari penjelasan Imam Nawawi di atas, hukum konversi piutang menjadi zakat ada dua pendapat, yaitu ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan. Imam Nawawi menilai pendapat yang lebih shahih adalah yang tidak membolehkan, dengan alasan harus ada serah terima (al-qabdh) atas harta zakat, dari orang yang berutang kepada pemberi utang. Hal ini tidak terjadi dalam kasus seseorang yang mengkonversi piutangnya menjadi zakat, karena dia hanya mengucapkan lafazh pembebasan utang (ibrā`) dan lafazh pembayaraan zakat (daf’u az-zakāt), tanpa sama sekali terjadi serah terima harta zakat (al-qabdh), yaitu yang rincinya ada pengambilan harta zakat (al-akhdzu) dari muzakki, dan ada penyerahan harta zakat (al-i’tha`/ al-radd) kepada mustahiq zakat.

Padahal dalil-dalil syara’ menjelaskan adanya al-akhdzu (pengambilan dari muzakki) dan al-i’tha`/ al-radd (pemberian kepada mustahiq) secara konkret. Adanya pengambilan harta zakat (al-akhdzu) dari muzakki, dalilnya firman Allah SWT :

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dosa mereka dan menumbuhkan harta mereka.” )QS. ِAِt-Taubah: 103(

Dalil lain yang menunjukkan bahwa pada zakat harus ada pengambilan harta zakat (al-akhdzu) dari muzakki, dan ada penyerahan harta zakat (al-i’tha`/ al-radd) kepada mustahiq zakat, adalah sabda Rasulullah SAW ketika beliau mengutus Mu’adz bin Jabal RA ke Yaman. Rasulullah SAW berkata kepada Mu’adz bin Jabal RA :

فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

“…maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah (zakat) dari harta mereka, yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang faqir mereka.” (HR. Al-Bukhari, no. 1395; Muslim no. 19).

Dengan demikianlah, jelaslah bahwa pendapat yang rājih (lebih kuat dalilnya), adalah pendapat yang tidak memperbolehkan mengkonversi piutang menjadi zakat. Wallāhu a’lam.

 

Jakarta, 01 April 2024

Muhammad Shiddiq Al-Jawi